MAHALNYA KETELADANAN
Oleh : Isidorus Lilijawa
Mantan ADPRD Kota Kupang
Momentum Semau yang viral sejak tanggal 27 Agustus 2021 kemarin masih ramai dibahas, diulas, didiskusikan oleh warganet dan warga bumi NTT, Nusantara bahkan dunia. Selepas peristiwa itu, saya mendapatkan banyak pesan yang intinya meminta saya menulis soal ini. Saya dalam hal ini memang bersabar. Tidak tergesa-gesa. Bukan karena tidak punya bahan untuk menulis tetapi justru oleh gugatan pertanyaan ini: pembelajaran apakah yang layak dipetik dari momentum Semau itu? Saya perlu mengambil jarak.
Huru hara informasi soal moment 27 Agustus itu hadir dalam aneka perspektif. Walau kita tahu bahwa momentum itu tercipta karena ada agenda pelantikan TPAKD (tim percepatan akses keuangan daerah). Lalu beramai-ramailah orang yang berkepentingan dengan itu ke Semau. Mungkin ada yang tidak tega menyebutnya sebagai pesta. Tetapi dalam video dan foto yang beredar ada kerumunan banyak orang, ada panggung acara, ada artis dan penyanyi, ada pemain band, ada dentuman musik, ada yang berjoget, ada yang tidak pakai pasker, ada yang tidak menjaga physical distancing.
Yang menarik momen ini dibuat di saat pandemi Covid sedang menanjak di NTT. Sementara para peziarah yang ke Semau itu kebanyakan berasal atau menyinggahi Kota Kupang yang sedang mengadu nasib dengan aturan-aturan PPKM Level 4. Mereka berziarah ke daerah yang masih zona hijau. Mudah-mudahan tidak untuk menjadikannya berwarna lain.
Beberapa hari ini saya merenung perihal ini. Apakah pembelajaran dari momentum Semau itu? Saya berusaha melalui keheningan. Dalam jalan-jalan meditasi pun kontemplasi. Saya hanya bisa mendapatkan satu inspirasi ini. Pembelajaran dari momentum Semau itu adalah MAHALNYA KETELADANAN.
Di provinsi yang selalu merindu Nanti Tuhan Tolong ini, keteladanan para pemimpin menjadi barang langka. Karena itu harganya mahal. Sulit dijangkau publik dan tak mudah diaplikasi kaum jelata. Keteladanan itu begitu mahal sampai pada fase krisis keteladanan khususnya dalam diri para pemimpin.
Mahalnya keteladanan itu bisa ditakar dari beberapa indikator. Diantaranya ketidaksesuaian antara apa yang mereka (para pemimpin) itu bicarakan dengan yang mereka buat. Jaraknya kadang langit dan bumi. Mereka mendesain regulasi lalu mereka melanggarnya sendiri. Mereka menciptakan persoalan lalu sibuk membuat pembenaran. Mereka memproduksi mimpi-mimpi besar tetapi proses eksekusinya hanya sebatas mimpi.
Lalu, apa yang murah di nusa terindah toleransi ini? Di nusa ini, yang murah itu amarah dan intimidasi. Yang murah meriah itu kongkalikong dan konspirasi. Yang murah itu janji-janji bombastis. Murah? Iya, karena bisa dijumpai di mana saja. Di meja-meja biro hingga lapak-lapak lesehan. Di lorong-lorong gelap hingga jalanan penuh warna. Di situ, yang murah meriah ini jadi pemanis mulut kaum jelata tetapi jadi habitus para pemimpinnya.
Keteladanan itu begitu mahal di nusa ini. Pakai teori trickle down effect (efek menetes ke bawah) pun susah bukan main. Karena keteladanan itu hampir susah menetes. Sebagai kompensasi muncul banyak kaum hipokrit, kaum pura-pura. Pura-pura populis padahal kapitalis. Pura-pura peduli padahal makan besar. Pura-pura simpati padahal antipati. Pura-pura altruis padahal semau gue. Pura-pura filantropis padahal genggam air pun tak menetes. Kaum hipokrit ini, yang krisis keteladanan ini hidup dalam zona PPKM (pura-pura karena muslihat) saja.
Mahalnya keteladanan para pemimpin di NTT sangat terbaca jelas di kala pandemi Covid-19 ini. Rakyat diikat oleh batasan-batasan PPKM, mereka bebas PPKM. Rakyat diminta jaga jarak. Mereka merapatkan barisan. Rakyat dilarang berkerumun dan berpesta. Mereka berkumpul dan berpesta. Rakyat disuruh di rumah saja. Mereka berziarah di Semau sana. Kegiatan pembelajaran selalu daring. Mereka nyaring dalam tatap muka. Rumah-rumah Tuhan dikunci. Mereka tak peduli. Karena atraksi di bibir laut selalu lebih seksi.
Pelantikan TPAKD memang penting. Mengapa tak pakai daring? Mengapa harus berpaling ke Semau? Ini memang soal empati. Para pemimpin itu mungkin saja masih ada kadar simpati. Tetapi bekal empatinya menipis. Empati itu adalah menjadikan perasaan, situasi dan kondisi orang lain adalah perasaan, keadaan dan kondisi kita. Masa Covid ini banyak orang susah. Anak-anak sekolah susah. Orang tua susah. Pedagang susah. Petani susah. Tukang ojek susah. Buruh harian susah. Tapi pemimpin kita tidak susah. Buktinya mereka kehilangan empati. Masih sempat-sempatnya mereka berkumpul dalam momentum yang dikemas luar biasa itu. Masih semangat melantunkan lagu di atas kesusahan rakyatnya. Masih suka bergoyang di balik derita rakyatnya. Seolah-olah NTT ini aman, sudah bangkit dan sejahtera dari Covid. Padahal dari Jakarta sana Bapak Presiden sudah ingatkan: NTT hati-hati! Suatu awasan yang dibalas dengan prank data.
Pada akhirnya, pembelajaran dari momentum Semau adalah jadi pemimpin harus bisa memberikan teladan. Ing ngarso sung tulada. Jangan pelit dengan keteladanan. Apalagi jual mahal. Maka, terhadap para pemimpin kita, jangan dengar apa yang mereka bicarakan bahkan hingga berapi-api dan meledak-ledak. Itu bisa saja NATO (no action talk only). Lihatlah apa yang mereka buat. Karena kebanyakan mereka tidak melakukan apa yang mereka katakan. Karena katanya pemimpin punya stok ‘diskresi’ yang cukup untuk melanggar aturan yang sudah dibuatnya sendiri.
Momentum Semau perlahan-lahan akan menyepi tertiup angin laut. Tetapi jejak digital selalu ‘gatal’ untuk mengingatkan. Bahwa di nusa yang takut Tuhan ini, keteladanan itu amat mahal. Empati masih sebatas embel-embel. Karena mereka masih sering semau gue. (Pena-emas.com)