BASIPAE, KETIDAKMAMPUAN NEGARA MENGINTERVENSI PERISTIWA SOSIAL

Basipae, Ketidakmampuan Negara Mengintervensi Peristiwa Sosial

Oleh:

Yoseph Aurelius Lado

Mahasiswa Pascasarjana Public Policy Universitas Nasional

Belum genap sebulan bangsa ini merayakan kemerdekaan, di belahan bumi Indonesia yang lain merdeka itu hanyalah di atas angan-angan.

Tidak cukup masyarkat menderita karena ganasnya pandemi Covid-19, negara dalam hal ini aparat menambahkan penderitaan itu dengan melakukan kekerasan terhadap masyarakat adat Pubabu-Basipae, Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pemda NTT menganggap lahan yang terdapat di tanah adat Pubabu-Basipae adalah milik negara, sementara masyarakat adat Pubabu-Basipae bergeming bahwa lahan tersebut adalah tanah adat hak mereka sejak turun temurun.

Tarik – menarik kepentingan inilah akhirnya negara mempelopori tindakan yang berwatak repressif derogable.
Sebelumnya, pada tahun 1982 hutan adat Pubabu-Basipae menjadi tempat pelaksanaan proyek percontohan intensifikasi peternakan kerjasama pemerintah NTT dengan Australia, sehingga dibuatlah perjanjian antara pemerintah profinsi NTT bersama masyarakat adat Pubabu-Basipae dengan catatan agar menjaga kelestarian hutan adat tersebut.

Setelah berjalan lima tahun, proyek intensifikasi peternakan tidak berjalan dengan baik, kemudian program tersebut dialihkan pada Dinas Peternakan. Tahun 1987 Dinas Kehutanan melaksanakan program GERHANA (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan), menjadikan kawasan hutan adat Pubabu-Basipae sebagai kawasan untuk budidaya komoditas seperti jati dan mahoni dengan skema HGU dari tahun 1998 hingga 2018. Namun, program ini ternyata tidak disetujui oleh masyarakat.

Kemudian tahun 2003 sampai dengan 2008 Dinas Kehutanan Timor Tengah Selatan telah melakukan pembabatan dan pembakaran hutan Pubabu-Basipae seluas kurang lebih 1050 Ha yang mengakibatkan hutan menjadi gundul.

Kondisi ini berdampak pada sulitnya masyarakat untuk mendapatkan sumber air bersih dalam memenuhi kebutuhan hidup, punahnya jenis satwa liar, punahnya jenis satwa langka, punahnya kayu-kayu asli yang bernilai tinggi, dan hilangnya hasil-hasil hutan lainnya.

Karena dinilai hanya membawa dampak kerugian bagi masyarakat dan kerusakan hutan adat, akhirnya masyarakat pun melakukan berbagai aksi penolakan tetapi bukan hasil yang diperoleh justru beragam perlakuan intimidasi yang diterima.

Saat ini, masyarakat khususnya perempuan dan anak-anak mengalami trauma dan ketakutan. Aparat tidak hanya bersenjata lengkap tetapi tidak segan mengancam dengan menembakan peluru sebagai shock theraphy.

Parahnya lagi, ada beberapa anak yang dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap melawan pemerintah.
Keadaan itu tidak ada bedanya dengan kebiasaan yang terjadi pada zaman penjajahan, yang mana pemerintah Kolonial Belanda memperlakukan satu kaidah hukum yang disebut beschickingrecht.

Konsep beschickingrecht berimplikasi hukum yang berarti bahwa semua kawasan darat dan perairan dalam wilayah kekuasaan kolonial mereka adalah dengan sendirinya menjadi milik negara kolonial Belanda.

Tindakan pemerintah yang sudah merusak dan mengintimidasi masyarakat perlu dipandang serius karena bertentangan dengan Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangannya masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Indonesia.

Mengacu pada konstitusi tersebut, bahwa hutan adat Pubabu-Basiape merupakan bagian dari kesatuan masyarakat adat yang sepatutnya dilindungi, dihormati, dan diakui oleh pemerintah, baik itu pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah.

Dalam kasus Pubabu-Basipae, aparat negara telah memposisikan diri sebagai hegemonik, eksesif, dan dominatif terhadap rakyatnya, sehingga karakteristik negara yang demikian melahirkan sistem politik yang cenderung ke arah otoriter dan konservatif (anti demokrasi).

Ketidakadilan atau reduksi peran masyarakat tersebut memperlihatkan besar dan kuatnya peranan negara dalam melakukan tindakan yang bersifat kooptatif dalam ruang publik, sehingga mengurangi, bahkan mematikan dinamika atau peran civil society yang menjadi aktor utama dalam negara demokrasi.

Hal ini akan lebih menyakitkan lagi apabila ternyata pembebasan lahan tersebut bukan untuk kepentingan negara atau masyarakat adat, namun sekedar untuk kepentingan korporasi tertentu.

Pihak swasta seringkali lebih dominan dalam mempengaruhi kebijakan yang ditetapkan dan disahkan negara. Inilah logikanya mengapa suatu kebijakan yang sebenarnya mendapatkan penentangan masyarakat, tetapi pemerintah tetap mengesahkannya.

Kita semua sadar tidak mudah bagi masyarakat yang hanya memiliki kekuatan berupa kemampuan menggalang massa untuk bisa memenangkan pertarungan kepentingan, masyarakat tidak mampu menghadapi dominasi kekuatan negara apalagi dengan swasta dalam mempengaruhi arena perumusan kebijakan.

Ironinya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memainkan peran yang tidak berarti dalam perumusan kebijakan, Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang menyebutkan bahwa hutan adat bukan lagi merupakan hutan yang berada di wilayah negara tetapi hutan yang menjadi bagian dari hak masyarakat hukum adat, seharusnya menjadi landasan kuat bagi DPRD untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dengan membuat Ranperda lembaga adat atau Ranperda pengakuan masyarakat hukum adat, mengingat tahun 2003 sudah terjadi perusakan hutan adat Pubabu-Basipae.

Masyarakat hanya menjadi korban karena ketidakmampuan negara untuk mempengaruhi dan mengintervensi peristiwa sosial di Pubabu-Basipae, maka dari itu perlu ada kesadaran publik dan kemauan politik yang arif dalam mengakomodasi hak adat masyarakat, kemudian memberikan ruang bagi keterlibatan berbagai kelompok masyarakat sebagai aktor kebijakan secara adil dan sejelas mungkin bukan hanya untuk mencapai tujuan, melainkan juga sebagai konsep relasi.

Semoga masalah ini menjadi pertama dan terakhir bagi pemerintah dan masyarakat adat Nusa Tenggara Timur kedepan.***

Tetap Terhubung Dengan Kami:

Pos terkait