Yafet Rissy Akademisi Asal NTT : Jika Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Disetujui, MK Berkhianat Pada Kedaulatan Rakyat
Yafet Yosafat Wikben Rissy, Dosen Fakultas Hukum UKSW
PENA-EMAS.COM – Sistem pemilu proporsional tertutup jika dikabulkan maka Mahkamah Konstitusi (MK) secara tidak langsung berkhianat terhadap kedaulatan rakyat.
Demikian tanggapan akademisi Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Prof. Yafet Yosafat Wikben Rissy, S,H.,M.Si., LLM., Ph.D, (AFHEA) seperti di kutip FKKNews.com edisi Selasa 17 Januari 2023.
Sistem Pemilu proporsional terbuka dan tertutup ramai dibicarakan menjelang pelaksanaan Pemilihan umum (Pemilu) 2024. Mahkamah konstitusi dijadwalkan akan menggelar sidang lanjutan permohonan uji materi atas penggunaan sistem pemilihan legislatif, pada Selasa (17/2/2023).
Sidang ini mendapat perhatian masyarakat luas dan menjadi tanda tanya besar sebagain politisi setelah beberapa partai menolak untuk di berlakukan.
Menanggapi hal tersebut akademisi Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga yang juga sebagai Politisi Partai Perindo, Prof. Yafet Yosafat Wikben Rissy, S,H.,M.Si., LLM., Ph.D, (AFHEA) menuturkan sejarah lahirnya sistem proporsional terbuka dipakai sampai saat ini
”Kurang lebih 33 Tahun, di zaman Orde Baru, Indonesia mempraktekan satu model demokrasi yang elitis dan feodal yang dibungkus dengan sistem kepartaian tertutup.
Model sistem Porporsional Tertutup tetap dipakai saat reformasi pada Tahun 1998 hingga awal reformasi yakni pada pemilu Tahun 1999 dan 2004. Perdebatan kemudian muncul karena kelemahan sistem proporsional tertutup antara lain partai politik berubah fungsinya menjadi alat untuk mengartikulasi kepentingan rakyat dan digunakan oleh partai politik lebih sebagai alat untuk mengutamakan orang-orang yang berkuasa dalam partai politik, sehingga partai politik menjadi intitusi yang feodal yang mengutamakan kedaulatan partai dan sebaliknya mengabaikan kedaulatan rakyat. Atas dasar ini maka sistem proporsional tertutup digantikan oleh sistem proporsional terbuka yang dipakai dalam pemilu 2009, 2014 dan 2019”. Ujar Yafet
Lebih Lanjut Beliau juga menyampaikan Bahwa sistem Proporsional tertutup tidak kompotibel dengan Spirit reformasi yang sudah dibangun”sistem Proporsional tertutup tidak kompotibel dengan spirit reformasi yang sudah kita bangun, karena belum tentu kedaulatan partai sama dengan kedaulatan rakyat , sehingga ketika terjadi amandemen UUD 1945, dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD” jelas Prof. Yafet yang berdarah Rote Ndao ini Tegas
Pengacara Senior ini juga menanggapi Uji Materil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilakukan oleh beberapa orang di Mahkamah Konstitusi dengan Nomor Perkara 114/PUU-XX/2022 sebagai hak warga negara tetapi tetapi secara substantive tidak perlu dikabulkan karena bertentangan dengan semangat kontitusi. “Secara formal, setiap warga negara yang merasa hak kontitusionalnya dilanggar atau berpotensi dilanggar oleh Undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi berhak mengajukan gugatan pengajian undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi.
Tetapi secara substansif gugatan ini tidak relefan dan harus ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, karena Mahkamah Konstitusi sejauh yang diikuti putusan-putusan cukup progresif yang mengutamakan pendekatan-pendekatan yang rasional, yang demokratis khususnya terkait sistem kepemiluan yang dijiwai oleh UUD 1945.
Jadi jika sistem pemilu proporsional tertutup dikabulkan maka Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung MK berkhianat terhadap kedaulatan rakyat ” Ungkap Akademisi asal NTT tersebut.
Lebih lanjut diterangkan bahwa sistem proporsional tertutup hanya akan melanggengkan para politisi tua yang menguasai partai politik dan menutup peluang bagi politisi-politisi mudah yang cerdas dan berintegritas untuk ikut menyumbang bagi pembangunan negara melalu jalur partai politik.
Jadi jika sistem proporsional tertup diloloskan MK, maka ini merupakan bentuk negasi bagi spirit reformasi sekaligus merupakan kemunduran dan ancaman nyata bagi demokrasi yang ideal yang telah dibangun Indonesia, setidaknya sejak pemilu 2014 lalu, tutupnya.